Kamis, 16 September 2010

asal usul tarekat sufi dan peranannya

Asal-usul Tarekat Sufi Dan Peranannya
Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.
Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
Arti Tariqa /Tarekat
Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.
Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.
Kanqah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.
Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.
Peranan
Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir.
Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.
Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:
1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).
Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.
Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.
Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya.
Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.
Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.
(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM)

Jumat, 10 September 2010

PENGERTIAN TASAWUF

Yaitu bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan meninggalkan sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi, Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang, dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan : Tasawuf itu dibangun atas 3 macam : (1) Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir (2) kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain (3) Meninggalkan mengatur dan memilih (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 4).
PENGERTIAN ILMU HIKMAH
Ilmu hikmah adalah sebuah ilmu kebatinan dengan metode zikir dan doa, adakalanya juga dengan mantra berbahasa Arab atau campuran tetapi tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam, ditujukan untuk urusan duniawi seperti kekebalan, pangkat, karir, perjodohan, pengasihan dan lain-lain.
TATA CARA MENGUASAI TASAWUF
Maka wajiblah beramal dengan Islam, Maka tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena kau tidak mengetahui hukum-hukum ALLAH Ta’ala yang lahir kecuali dengan fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali dengan tasawuf, karena tidak ada amal dengan kebenaran pengarahan (kecuali dengan tasawuf). Dan juga tidak ada tasawuf dan fiqih kecuali dengan Iman, karena tidaklah sah salah satu dari keduanya (fiqih dan tasawuf) tanpa iman. Maka wajiblah mengumpulkan ketiganya (iman, fiqih, tasawuf) . (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 5).
Imam Malik berkata : Barangsiapa bertasawwuf tapi tidak berfiqih maka dia telah kafir zindiq (pura-pura beriman), dan barangsiapa yang berfiqih tapi tidak bertasawuf maka dia telah (berdosa) dan barangsiapa yang mengumpulkan keduanya (fiqh dan tasawwuf) maka dia telah benar. (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 6).
Jadi Tasawwuf itu harus melalui Iman (akidah), Islam (syari’ah) dan Ihsan (Hakikat). Atau amal Syari’ah, Thoriqoh dan Hakikah. Maka Syari’ah adalah menyembah ALLAH, Thoriqoh adalah menuju ALLAH, dan Hakikah adalah menyaksikan ALLAH. Atau Syari’ah itu untuk memperbaiki lahiriah, Thoriqoh untuk memperbaiki bathiniah (hati), dan Hakikah untuk memperbaiki Sir (Rahasia diri). Memperbaki anggota tubuh dengan 3 perkata : Taubat, Taqwa dan Istiqomah. Dan memperbaiki hati dengan 3 perkara : Ikhlas, jujur dan tenang. Dan memperbaiki Sir (Rahasia Diri) dengan 3 perkara : Muroqobah (saling mengawasi antara diri dan ALLAH), Musyahadah (saling menyaksikan antara diri dan ALLAH), dan Ma’rifah (Mengenal ALLAH secara mutlak dan jelas).(Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 11).
Harus melalui Ikhlas tingkat tertinggi (Khowwasul Khowwash). Dan ikhlas itu ada 3 derajat : (1) Derajat Awam (umumnya manusia) (2) Khowwash (3) Khowwasul Khowwash. Maka (1) ikhlasnya orang awam yaitu mengeluarkan makhluk dari beribadah kepada ALLAH beserta mencari bagian-bagian dunia dan akhirat. seperti menjaga badan, harta, keluasan rizki, perdagangan dan yang indah dipandang (2) Ikhlasnya Khowwash adalah mencari bagian akhirat tanpa mencari bagian dunia. (3) Dan ikhlasnya Khowwashul Khowwash adalah mengeluarkan bagian-bagian semuanya (dunia dan akhirat). Maka ibadah mereka adalah sebenar-benar penyembahan, dan melaksanakan tugas-tugas dari ALLAH, atau cinta dan rindu melihat-Nya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Faridh: “Bukanlah permintaanku berupa surga jannatun na’im, hanya saja aku mencintai surga untuk melihat-Mu” (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 31-32).
TATA CARA MENGUASAI ILMU HIKMAH
Dengan puasa, zikir/wirid, amalan, doa, membaca ayat-ayat Qur’an, dengan mantra, sya’ir-syair yang dibuat para Ulama Hikmah atau yang didapat dari ilham para Ulama Hikmah atau dari ilham Ahli Tasawuf dan lain-lain
TUJUAN TASAWWUF
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih jelas)
TUJUAN HIKMAH
Tujuannya masalah duniawi seperti kekebalan, kesaktian, pengasihan, jodoh, ramalan, pengobatan, kerejekian dan lain-lain
KEKUATAN LUAR BIASA
Kekuatan luar biasa ilmu hikmah termasuk kekuatan luar biasa Hissiah (panca indera/lahiriah) seperti berjalan di atas air, terbang di udara, melipat bumi, menimbulkan air, menarik makanan, tampaknya kegaiban dan lain-lain. Dan kekuatan luar biasa ahli tasawwuf adalah Hakikah / Ma’nawiyyah (sebenar-benarnya karomah) yaitu istiqomahnya (kontinyu) seorang hamba kepada Tuhannya dalam lahir dan bathin. Terbukanya hijab dari hatinya sehingga mengenal jelas Tuhannya. menguasai dirinya dan berbeda dengan hawa nafsunya, kuat yakinnya dan diamnya, tenang dengan ALLAH. (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 317).
Imam Ibnu ‘A-tho-illah berkata : Seringkali ALLAH memberi rizki karomah (kekeramatan) pada orang yang tidak sempurna isqomahnya. (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 317).
Yang diambil pelajaran oleh Ahli Tahqiq (Ahli Tasawwuf sejati) adalah jangan mencari karomah Hissiah ini dan jangan berpaling kepadanya. Karena kadang tampak karomah Hissiah ini pada tangan orang yang tidak sempurna istiqomahnya. Bahkan kadang tampak pada tangan orang yang tidak ada istiqomah sama sekali, seperti para tukang sihir dan dukun. Dan kadang tampak pada tangan-tangan Rahib (pendeta).Dan ini bukanlah karomah tapi Istidroj. (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 317).
Imam Abu Yazid Al Bustomi berkata : “Jika kamu melihat seseorang yang diberikan karomah (kekeramatan) sehingga dia dapat terbang di udara maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu melihat bagaimana kamu mendapatkan dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, menjaga batasan-batasan, dan melaksanakan syari’at” (Lihat kitab Risalah Qusyayriyyah halaman 14 atau buku 40 Masalah Agama III halaman 38)
Sumber :
Kitab Iyqo-zhul Himam fii Syarhil Hikam cetakan dan terbitan Al Haromain, Jeddah karangan Al ‘Arif Billah Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah Al Husni.
Sumber http://zoftpc.com/nuansa-islami/ilmu-tasawuf-ilmu-hikmah/#ixzz0vmqeqL4r

Definisi Karomah

Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan (tabiat manusia) yang Allah anugerahkan kepada seorang
hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan
tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik
dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba
tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
meyakini adanya Karomah para wali dan apa-apa yang Allah perbuat dari keluarbiasaan melalui
tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang
tersembunyi), bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh.” (Syarah
Aqidah Al Wasithiyah hal.207).
Karomah ini tetap ada sampai akhir zaman dan terjadi pada umat ini lebih banyak daripada umat-umat
sebelumnya, yang demikian itu menunjukan keridhoan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya dan sebagai
pertolongan baginya dalam urusan dunianya atau agamanya. Namun bukan berarti Allah Ta’ala benci
terhadap orang-orang yang tidak nampak karomah padanya.
Perkara “Karomah” ini telah tsabit (tetap) secara nash baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah bahkan
juga secara kenyataan.
Kepada siapakah Karomah ini diberikan?
Karomah ini Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman serta bertaqwa
kepada-Nya, yang disebut dengan wali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman ketika menyebutkan
tentang sifat-sifat wali-wali-Nya :
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus:
62-63)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan tentang keadaan wali-wali-Nya dan sifat-sifat mereka, yaitu:
“Orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya
dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.”Kemudian mereka
merealisasikan keimanan mereka dengan melakukan ketakwaan dengan cara melakukan segala perintah
Allah Ta’ala dan meninggalkan segala larangan-Nya. (Taisir Karimir Rahman karya As Sa’di hal, 368)
Apakah wali Allah itu memiliki atribut-atribut tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki
sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang
hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai
sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari
Majmu’ Fatawa 11/194)
Apakah wali Allah itu harus memiliki karamah?
Lebih utama manakah antara wali yang memilikinya dengan yang tidak?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki
karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang
memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para Tabi’in itu lebih banyak daripada
di kalangan para Sahabat, padahal para Sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para Tabi’in.
(Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/283)
Apakah setiap yang di luar kebiasaan dinamakan dengan ‘Karamah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang
di luar kebiasaan itu ada tiga macam:
- Mu’jizat yang terjadi pada para Rasul dan Nabi
- Karamah yang terjadi pada para wali Allah
- Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan (Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal
sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali)
tersebut.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau
terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui
bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.” (A’lamus Sunnah Al
Manshurah hal. 193)
Beberapa contoh Karamah
1. Allah Ta’ala berfirman
"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya
dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk
untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari
mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah".
Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”. (QS. Al Imran:
37)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “Ayat ini merupakan dalil akan adanya Karomah para wali
yang keluar dari kebiasaan manusia, sebagaimana yang telah mutawatir dari hadits-hadits tentang
permasalahan ini. Berbeda dengan orang-orang yang tidak meyakini tentang adanya Karomah ini.”
(Taisir Karimur Rahman hal: 129)
2. Apa yang terjadi pada “Ashhabul Kahfi” (penghuni gua). Suatu kisah agung yang terdapat dalam
surat Al Kahfi. Allah berfirman :“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman
kepada Rabb mereka dan kami tambahkan pada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahfi: 13).Mereka ini
(Ashabul Kahfi) sebelumnya hidup di tengah-tengah masyarakat yang kafir (dengan pemerintahan yang
kafir) lalu mereka lari dari masyarakat itu. Dalam rangka menyelamatkan agama mereka, kemudian
Allah melindungi mereka di dalam Al Kahfi (gua yang luas yang berada di gunung).
Tatkala Allah Ta’ala telah selamatkan mereka di dalam gua tersebut, lalu Allah tidurkan mereka dalam
waktu yang sangat panjang, disebutkan dalam ayat (artinya):
“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Al Kahfi:25).
3.Diantara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul
Qarnain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan (artinya): “Sesungguhnya kami telah
memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya jalan untuk
mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84)
4. Diantara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh
oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: ”Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih
padahal dia tidak membunuh orang lain?“, yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak
itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan
menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
5. Apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir tentang berita Salafus Shalih dari para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam, Tabi’in, Tabiut Tabi’in dan generasi setelah mereka tentang perkara
Karomah yang terjadi pada diri mereka.
Perbedaan Antara Karomah Dan Perbuatan Syaithon
Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan Karomah, dia adalah “Al Ahwal As Syaithoniyyah”
(perbuatan syaithon). Inilah yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia
Karomah, padahal justru tidak ada kaitannya dengan Karomah, karena:
- Karomah datangnya dari Allah Ta’ala sedangkan ia jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang
terjadi pada Musailamah Al Kadzdzab dan Al Aswad Al Ansyi (Dua orang pendusta di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkaraperkara
yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon.
- Demikian pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada
Allah Ta’ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah
Ta’ala maka ia pun menjadi wali Allah Ta’ala”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan
kufurnya mereka kepada Allah Ta’ala dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan
kepada Allah Ta’ala, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.
- Karomah merupakan suatu pemberian dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa
susah payah darinya, berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah
sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah Ta’ala.
- Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan
perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah Ta’ala atau dibacakan
ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan Syaikhul Islam menyebutkan bahwa
ada seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu
dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati.
- Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya
Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah
Ta’ala. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan
kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah Ta’ala, sehingga jelaslah bagi kita akan
hakekat Karomah dan perbuatan syaithon.
Syubhat dan Bantahannya
Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan
sebagian dari Asy’ariyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka
yang rendah. Mereka mengatakan: ”Bahwa terjadinya Karomah itu hanya merupakan perkara yang
akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.”
Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah:
Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan
dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah dan kenyataan yang ada.
Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi,
justru tidaklah demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi
dari Karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah Ta’ala dan
disebabkan waro’nya.
Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang
yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang
yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar didalam menghukumi
seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang di luar kebiasaan manusia.
Macam-Macam Manusia Dalam Mensikapi Masalah Karomah
Pertama: Orang-orang yang mengingkari adanya Karomah yaitu dari kelompok ahli bid’ah seperti
Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan sebagian dari Asy’ariyah. Dengan alasan yang telah disebutkan diatas.
Kedua: Orang-orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menetapkan Karomah yaitu dari
kalangan orang-orang “Sufi” dan para “Penyembah kubur”, yang menganggap segala keluarbiasaan itu
sebagai Karomah, tanpa memperhatikan keadaan pelakunya atau pemiliknya.
Ketiga: Orang-orang yang mengimani serta membenarkan adanya Karomah dan mereka tetapkan
Karomah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah. Mereka itu adalah Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
By : Maryono
Majlis dzikir Al-Hikmah Karomah Yogyakarta

Definisi Al-hikmah


Dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata Hikmah mempunyai beberapa
arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua, sakti atau kesaktian (kekuatan ghaib). Ketiga, arti atau
makna yang dalam. Keempat, manfaat. [1]
Sekarang marilah kita simak definisi ilmu al-Hikmah secara lengkap. Yang meliputi definisi secara
bahasa, istilah syari'at dan pendapat para ulama tafsir dalam masalah ini. Menurut kamus bahasa Arab,
al-Hikmah mempunyai banyak arti. Di antaranya, kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus,
pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'anul karim.[2]
Sedangkan Imam al-Jurjani rahimahullah dalam kitabnya memberikan makna al-Hikmah secara bahasa
artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan). Atau perkataan yang logis dan bersih dari kesia-siaan.
Orang yang ahli ilmu Hikmah disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama. Yaitu
orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan sunnah Rasulullah.".[3]
Al-Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya
menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional). Al-Hikmah juga merupakan ungkapan dari
perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. [4]
Para ulama tafsir rahimahumullah juga mempunyai definisi masing-masing tentang ilmu alHikmah.
Yang mana antar pendapat tersebut saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain. Imam Mujahid
mengartikan al-Hikmah, "Benar dalam perkataan dan perbuatan". Ibnu Zaid memaknai, "Cendekia
dalam memahami agama." Malik bin Anas mengartikan, "Pengetahuan dan pemahaman yang dalam
terhadap agama Allah, lalu mengikuti ajarannya." Ibnul Qasim mengatakan, "Memahami ajaran
agama Allah lalu mengikutinya dan mengamalkannya." Imam Ibrahim an-Nakho'i mengartikan,
"Memahami apa yang dikandung al-Qur'an." Imam as-Suddiy mengartikan al-Hikmah dengan an-
Nubuwwah (kenabian).
Ar-rabi' bin Anas berkata, "Rasa takut kepada Allah." Hasan al-Bashri memaknai, "Sifat wara' (hatihati
dalam masalah halal dan haram)." Imam al-Qurthubi berkata, "Semua makna di atas saling
berkaitan satu sama lain, kecuali pendapat as-Suddi, ar-Rabi' dan al-Hasan. Ketiga pendapat mereka
saling berdekatan satu sama lain. Karena al-Hikmah sumbernya dari al-Ahkam. Yang artinya mumpuni
dalam perkataan dan perbuatan. Dan semua makna yang disebutkan di atas adalah bagian dari al-
Hikmah. Al-Qur'an itu hikmah, sunnah Rasulullah juga hikmah." [5]
Imam at-Thabari rahimahullah menambahkan, "Menurut kami, makna hikmah yang tepat adalah ilmu
tentang hukum-hukum Allah yang tidak bisa dipahaminya kecuali melalui penjelasan Rasulullah.
Dengan begitu al-Hikmah disini berasal dari kata al-Hukmu yang bermakna penjelasan antara yang
haq dan yang bathil. Seperti kalimat al-Jilsah berasal dari kata al-Julus. Kalau dikatakan bahwa si
Fulan itu orang yang Hakiim, berarti dia itu orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan." [6]
Jika kita memperhatikan makna al-Hikmah dalam ayat-ayat al-Qur'an, maka akan kita jumpai
mayoritas makna al-Hikmah adalah al-Hadits atau as-Sunnah. Mayoritas kata al-Hikmah dalam ayat al-
Qur'an disandingkan dengan kata alKitab yang maksudnya adalah al-Qur'an. Perhatikanlah ayat-ayat
berikut, misalnya:
Artinya : "Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni' mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus
kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui". (QS. al-Baqarah: 151).
Artinya : "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Ahzab: 34).
Di surat lain,
Artinya : "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata, (QS. at. Jumu'ah: 2).
Dari ragam definisi ilmu al-Hikmah tersebut, kita bisa memahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu
al-Hikmah adalah ilmu yang mempelajari al-Qur'an dan al-Hadits, yang mencakup cara bacanya
dengan benar, pemahaman maksud dan apa yang dikandungnya, lalu mempraktikkannya dalam
perkataan dan perbuatan. Apabila perkataan dan perbuatan kita berlandaskan pada dua kitab tersebut,
maka kita tidak akan salah atau tersesat dari jalan yang benar.
Rasulullah bersabda, "Telah aku tinggalkan pada kalian dua hal. Kalian tidak akan tersesat selama
masih berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (al-Qur'an) dan sunnah nabi-Nya (al-
Hadits)." (HR. Malik, no. 1395).
Dan tidak ada satupun ayat atau hadits shahih yang menjelaskan bahwa maksud dari ilmu al-Hikmah
adalah ilmu kesaktian atau kadigdayaan, yang menjadikan pemiliknya kebal senjata tajam, tidak
terbakar oleh api, bisa menghilang, mampu menerawang atau meramal, bisa melihat jin dan syetan,
serta tujuan kesaktian lainnya. Apalagi kalau dalam proses mendapatkan ilmu seperti itu dengan puasa
atau shalat serta wirid bacaan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
Ilmu hikmah bukanlah ilmu sihir yang melibatkan bantuan jin atau syetan. Sehingga bisa di transfer
dari satu orang ke orang lain, dipamerkan di tempat-tempat keramaian, dijadikan sebagai bahan
pertunjukan, dipelajari dalam waktu sekejap, dimiliki dengan ritual-ritual khusus, dikuasai dengan
media jimat, wifik, rajah atau benda pusaka, atau diperjual-belikan dengan mahar-mahar tertentu.
Ilmu Hikmah adalah ilmu panduan, yang membimbing kita kita mengenal ajaran-ajaran Allah dan
sunnah-sunnah Rasul-Nya, sehingga kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram,
mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang. Dengan ilmu hikmah seperti itulah, kita akan
menjadi orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Itulah sejatinya ilmu Hikmah!